Rabu, 20 Januari 2010

Etnis Lombok

KANDANG KAOQ KECAMATAN TANJUNG, KABUPATEN LOMBOK BARAT
Legenda Asal-usul
Dukuh Kandang Kaoq Kecamatan Tanjung, itu dulunya ialah sebuah lokasi untuk kandang-kandang kerbau milik orang-orang desa Tanjung. Seperti telah disampaikan di atas dalam bahasa Sasak, Kandang Kaoq itu artinya kandang Kerbau. Lokasi kandang Kerbau ini kemudian berkembang menjadi daerah pemukiman yang sekarang menjadi dukuh ini, tetapi meskipun demikian namanya tetap Kandang Kaoq. Kerbau yang dulu dikandangkan di sini ini fungsinya ialah untuk menggarap sawah sebagai ganti tenaga manusia untuk mematangkan lahan agar siap tanam. Hal ini adalah karena tanah disini sangat luas untuk bisa dikerjakan dengan tangan, jadi kerbau dilepas untuk menginjak-injak sawah sebelum ditanami. Walaupun dukuh ini bernama Kandang Kaoq, dewasa ini sudah tidak ada lagi Kerbau dalam dukuh, yang ada hanya sapi, sementara kerbaunya dikandangkan di tepi sawah.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional

Orang Kandang Kaoq tidak mengenal hak milik tanah. Semua lahan dalam dukuh ini adalah hak milik desa. Kalau ada keluarga yang ingin membangun rumah baru, maka lokasinya ditentukan oleh keputusan rapat desa yang dipimpin oleh Tuak Lokaq atau sesepuh desa. Sesudah itu pemakaian rumah itu diserahkan dan dikuasakan kepada satu keluarga dan keturunannya. Yang termasuk dalam wilayah rumah ialah halaman, lumbung, kandang dan berugaq (sekenem), dan yang juga fungsinya untuk duduk-duduk.

Meskipun halaman itu termasuk wilayah rumah, batas fisiknya tidak jelas. Dengan demikian, halaman yang berada diantara dua wilayah rumah itu dianggap milik dan tanggung jawab kedua keluarga. Sehingga pemeliharaannya dilaksanakan secara gotong royong oleh pemilik-pemilik rumah yang membatasi halaman tersebut.

Menurut adat desa Tanjung lumbung itu ada beberapa macam jenisnya dan tiap jenis memiliki derajatnya sendiri. Jenis lumbung yang paling tinggi derajatnya ialah Alang, dan yang tidak didapati di Kandang Kaoq. Disini derajat lumbung tertinggi ialah Sambi yang sederajat lebih rendah dari Alang, sedang dua bentuk lumbung lain yang ada ialah Geleng dan Lumbung. Geleng dan Lumbung secara berurutan derajatnya lebih rendah dari Sambi, dan keduanya juga didapati di Kandang Kaoq. Letak Sambi di dukuh ini ialah di belakang rumah. Untuk membangun lumbung di dukuh ini tidak ada tradisi perhitungan mencari hari. Hal ini mungkin karena lumbung alang tidak terdapat di Kandang Kaoq.

Perhitungan mencari hari untuk membangun hanya dilakukan untuk rumah saja. Sesudah hari baik ditemukan, maka pada hari pertama dilakukan upacara yang disebut nukaq seimbik atau upacara perletakan batu pertama. Dan tidak ada selamatan apapun yang perlu dilakukan sebelum membangun rumah. Untuk menghitung hari baik, hari pasaran legi (manis) tidak diperkenankan untuk dipakai membangun.

Sesudah rumah selesai dibangun diadakan selamatan sebelum penghuni mulai mendiami rumah tersebut. Selamatan ini dipimpin oleh Tuak Lokaq dan pemuka agama, setelah dicarikan hari baik terlebih dahulu, dan selamatan ini dihadiri oleh seluruh warga dukuh Kandang Kaoq. Selamatan ini biasanya dilakukan pada bangunan Berugaq. Disini disajikan makanan yang seluruhnya secara lengkap diatur pada sebuah dulang atau talam. Untuk ini disediakan dulang khusus yang terbuat dari kayu, berbentuk bulat dan sedikit cekung. Dibagian bawah dulang ini ditopang oleh badan silindris melebar di sebelah bawah. Dulang dan kaki silindrisnya merupakan suatu kesatuan. Tiap dulang dapat melayani empat orang, dan pada tiap berugaq ditempatkan empat dulang, jadi tiap dulang melayani enambelas warga dukuh. Untuk bisa menampung seluruh warga dukuh diperlukan beberapa berugaq. Karena itu penggunaan berugaq itu menunjukkan semangat gotong royong, karena meskipun berugaq itu milik satu keluarga, siapa saja bisa memakainya.

Meskipun perhitungan mencari hari dan selamatan tidak dilakukan untuk lumbung dan berugaq, atau bangunan lain. Ini mungkin karena lumbung alang tidak didapati di Dukuh Kandang Kaoq, sedang fungsi berugaq disini juga sekedar untuk menampung kegiatan sosial dan tidak sampai ke kegiatan agama.

Catatan mengenai selamatan. Jumlah dulang yang disajikan dalam selamatan diatur secara adat. Kalau selamatan diadakan untuk “urusan hidup” seperti misalnya membangun rumah dan upacara perkawinan, maka jumlah dulang selalu genap, biasanya empat untuk tiap berugaq. Sebaliknya kalau untuk selamatan orang meninggal, jumlah dulang ganjil, biasanya lima atau tujuh. Aturan ganjil dan genap ini terus diikuti sampai kepada ukuran makanan yang disajikan, misalnya jumlah genggam beras yang ditanak, ayam yang dipotong, dan seterusnya.

Perhitungan mencari kain untuk bangunan dilaksanakan hanya untuk membangun rumah baru, dan tidak untuk memperbaiki atau membangun kembali rumah yang rusak. Kecuali kalau bagian yang akan diperbaiki itu adalah atap, maka perlu dicarikan hari baik dengan ketentuan umum seperti membangun rumah baru. Untuk pembangunan bahan utama yang dipergunakan ialah kayu dan batang kelapa, serta bambu. Di Kandang Kaoq tidak ada bagian rumah yang dihias, diberi ornament atau dicat karena ini merupakan pantangan. Pada waktu orang meninggalkan rumah lama untuk tinggal dirumah baru, sebagai persyaratan simbolis, orang ini membawa alat makan sirih dan tidak ada bagian rumah lama yang dibawa.
Aturan adat dalam masalah bangunan yang masih keras dipegang oleh warga Kandang Kaoq ialah mengenai arah rumah. Arah rumah yang ditentukan oleh arah wuwungan atau bahasa Sasaknya buk-buk, ialah Utara-Selatan sesuai dengan arah mata angin di daerah ini. Dengan demikian pintu berada di sisi Barat atau Timur, sehingga pada waktu hujan angin, air tidak masuk rumah. Tidak ada alasan lain yang dikemukakan dalam hal ini. Menurut aturan adat, rumah di Kandang Kaoq tak boleh berhadapan dengan lumbung. Lumbung harus ditempatkan dibelakang rumah, yaitu menghadap wajah Barat atau Timur rumah yang tak berpintu.

Disamping adat tersebut diatas, ada tata cara untuk mengatur perekonomian. Di Kandang Kaoq calon pengantin wanita tidak dipinang, baik dengan upacara maupun tidak. Calon mempelai wanita harus dicuri oleh bakal suaminya. Baru setelah itu diadakan pendekatan antara kedua keluarga dan upacara pernikahan diselesaikan secara adat.
Pandangan Penduduk Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Di dukuh ini, meskipun jumlah bangunan tradisional masih nampak dominan tetapi bangunan yang non tradisional sudah banyak pula. Pola pemukiman disini jelas sekali terbagi dua. Bagian pertama terletak dekat dengan jalan masuk dukuh dan jelas kelihatan dari jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Pada wilayah pertama inilah sebagian terbesar bangunan masuk dukuh dan jelas kelihatan dari jalan yang bisa dilalui kendraan bermotor. Pada wilayah pertama inilah sebagian terbesar bangunan non tradisional berada, sehingga kesan pertama bagi orang luar ketika memasuki dukuh ini adalah bahwa pola fisik Kandang Kaoq sudah tidak tradisional. Pola tata letak bangunan disini sebetulnya mengikuti “grid-iron”, tetapi karena bentuk rumah yang ada keseragaman, atau tidak memiliki unsur pemersatu, suasananya seolah-olah tidak teratur.

Pada bagian kedua, dan ini merupakan wilayah yang lebih luas dari bagian pertama diatas, baik bentuk bangunan maupun pola tata letaknya masih tradisional. Pola grid iron jelas sekali, dan secara ketat mengikuti keseluruhan bentuk fisik desa ini. Dari hal ini barangkali yang mempengaruhi pola bagian pertama. Disinipun bangunan non tradisional sudah ada, kebanyakan pada rumahnya, tetapi pola tradisional masih merupakan ciri karakter utama.

Lebih separuh responden Kandang Kaoq tinggal di rumah tradisional. Sebagian dari mereka ini mengatakan bahwa bentuk arsitek tradisional Sasak harus dipertahankan, tetapi mereka ini rupanya menganggap bahwa ada unsur adat yang berkaitan dengan upacara membangun rumah yang sudah tidak sesuai lagi seperti arah menghadap rumah yang sering tidak memperhitungkan terhadap oientasi matahari, tak ada jendela dan ventilasi, dan gelap serta dianggap kurang sehat. Karena itu sebagian terbesar dari responden ini lebih menyukai membangun rumah baru kalau ada biaya. Tetapi ketika ditanyakan alasan yang spesifik mengenai alasan pilihannya ini, jawabannya kurang mendasar, seperti misalnya malu kepada tetangganya yang rumahnya modern.

Sisa dari responden tinggal di rumah non tradisional. Sebagian terbesar dari responden ini ternyata memang lebih menyukai tinggal di bangunan-bangunan demikian, tetapi pendapat mereka bertentangan dengan kenyataan yang menekankan perlunya bangunan asli Sasak dipertahankan. Mengenai alasan kecenderungan untuk memilih tinggal di bangunan non tradisional, responden-responden ini lebih konsisten dengan menyatakan kebutuhan akan ventilasi, sinar matahari, dan kebebasan individual dalam memilih bentuk rumahnya.

Sebagian terbesar dari responden secara keseluruhan menyatakan bahwa lumbung adalah bangunan terpenting dari keseluruhan bangunan tradisional, dan rumah menempati urutan kedua. Dan hal ini juga ternyata dari pilihan mereka untuk tetap mempertahankan bentuk lumbung tradisional, meskipun mereka lebih memilih tinggal dirumah non tradisional. Alasan merekapun lebih positif misalnya yaitu untuk memelihara tradisi suku Sasak. Hal yang menarik lagi ialah pendapat responden mengenai berugaq. Secara keseluruhan sebagian terbesar penduduk cenderung untuk mempertahankan adanya berugaq dalam bentuk tradisional yang ada. Mereka yang sudah tinggal di di rumah-rumah non tradisional yang juga memiliki ruang duduk tersendiri, menyatakan bahwa berugaq itu lebih sesuai untuk fungsi sosialisasi dan lebih nikmat untuk tempat berkumpul warga dukuh dibandingkan dengan ruang duduk dalam rumah.

Sebagian terbesar responden untuk keperluan mandinya menggunakan sumur meskipun tidak ada bentuk fasilitas mandi yang tradisional. Sebagian dari sarana MCK yang ada memang terbuka dan hanya ada sumurnya saja. Tetapi sebagian responden mengatakan bahwa aspek moral sudah mulai menjadi faktor penting dalam hal ini, sehingga sebagian dari fasilitas MCK diberi penutup pandangan dari anyaman bambu. Bahkan di beberapa rumah tradisional, ada fasilitasnya. Fasilitas MCK ini juga masih menunjukkan rasa bermasyarakat yang kuat di kalangan penduduk, karena fasilitas ini dipergunakan untuk kepentingan bersama, meskipun dibangun dan dimiliki oleh keluarga tertentu saja. Meskipun demikian, masih ada juga responden yang lebih senang mandi di kali.

Konsep kesehatan ternyata belum betul-betul diresapi. Hal ini ternyata dari jawaban responden yang pada umumnya mengatakan bahwa mereka tidak memberi cukup ventilasi bagi dapurnya, termasuk yang sudah tinggal di rumah non tradisional. Dapur masih dianggap sarana penunjang yang tak perlu pemikiran matang. Ini juga ternyata dari cara mereka menyimpan makanan masak yang hanya sebagian kecil responden memiliki tempat penyimpanan khusus. Demikian juga mengenai sinar matahari, sebagian dari responden yang rumahnya sudah dilengkapi dengan jendela kaca, ternyata penempatannya masih belum memanfaatkan unsur kesehatan yang penting ini. Bagi mereka jendela kaca masih merupakan fasilitas pelengkap untuk memberikan kesan “modern” bagi rumahnya.

Gagasan modernisasi memang masih baru kulitnya saja yang ditampilkan oleh responden. Dan ini ternyata dari pemilikan bahan non tradisional yang sering tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, seperti misalnya memilih atap seng itu mudah terkena korosi dan menyerap banyak radiasi matahari di waktu siang.


DESA BAYAN DI BAGIAN UTARA KABUPATEN LOMBOK BARAT
Legenda Asal-usul
Menurut keterangan, penduduk asli desa Bayan itu adalah cikal bakal suku bangsa Sasak. Mereka mengatakan bahwa ada pengertian dalam cerita rakyat Sasak yang meriwayatkan bahwa wilayah Lombok dulu adalah sebuah Negara kerajaan yang suwung, artinya tidak ada penghuninya. Negara kerajaan tersebut kemudian diisi penduduk yang mengembangkannya menjadi Desa Bayan sekarang. Setelah penduduk Bayan ini berkembang, sebagian kemudian berpencar dan menghuni seluruh pulau Lombok. Beberapa sesepuh Bayan bahkan menyatakan bahwa Kerajaan Bayan ini dulu merupakan perisai pertahanan terhadap serangan yang sering dilancarkan dari arah timur Pulau Lombok. Akibat serangan-serangan ini sebagian bala tentara Bayan kemudian membina kerajaan baru lagi di Daerah Sumbawa. Secara geografis letak Sumbawa memang dekat dengan Desa Bayan, sekitar duapuluh km. Tetapi dari sudut transportasi, jarak ini tidak operasional bagi rata-rata kendaraan bermotor.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional
Di Bayan, rumah itu ada yang bertiang enam dan melambangkan rukun iman, atau bertiang empat yang menggambarkan Syariat Islam. Dulu mungkin ukuran rumah itu ditentukan dengan cara lain, tetapi sekarang dinyatakan dalam satuan meter. Dalam rumah tradisional di Bayan ada bagian yang disebut inan bak, yaitu suatu ruangan yang dipergunakan untuk ruang simpan baik untuk bahan-bahan makanan mentah kebutuhan setiap hari maupun untuk makanan masak. Bahan yang bisa dipakai untuk membangun rumah ialah kayu, pokok pohon kelapa, bambu dan ilalang. Sebagaimana di Kandang Kaoq, buk-buk rumah harus kearah Utara-Selatan, dan pintu di timur atau barat, karena alasan angin juga.

Di Bayan, yang boleh memprakarsai pembangunan rumah hanya laki-laki, dan dia inilah yang nantinya memiliki hak atas rumah. Dalam tahap perancangan tidak disiapkan gambar-gambar, melainkan semua rancangan disiapkan berdasar adat Sasak. Proses perancangannya sendiri dilakukan oleh salah satu tokoh masyarakat, yaitu kiai Pemuka Agama, atau Pamong Desa. Dari ketiga orang atau unsur desa yang ada di Bayan, dipilih yang tertua. Pelaksanaan pembangunannya sendiri dilakukan secara gotong royong terutama oleh anggota keluarga calon pemilik rumah. Meskipun gotong royong, dikenal juga sistem upah berupa uang yang diberikan kepada pekerja yang bukan anggota keluarga.

Untuk membangun sebuah rumah diperlukan penentuan hari baik bulan baik. Dan siapa saja sebetulnya diperkenankan melaksanakan perhitungan ini asal mampu menghitungkan. Tetapi biasanya perhitungan waktu baik ini asal mampu menghitungkan. Tetapi biasanya perhitungan waktu baik ini dilakukan oleh Kiai atau perangkat desa yang faham betul mengenai semua persyaratan dan cara-caranya. Sebetulnya, perhitungan hari baik bulan baik ini pada dasarnya berlaku untuk setiap langkah hidup yang akan dilakukan oleh orang Bayan dan tidak terbatas pada saat akan membangun rumah saja.

Sebagai dasar untuk perhitungan hari baik bulan baik dipergunakan kalender Islam. Dari keduabelas bulan Islam, hanya tiga yang dianggap baik, yaitu Rajab, Safar dan Dulhaji. Sedangkan hari yang dianggap baik juga ada tiga, ialah Minggu – yang bisa bernilai lima, lima belas atau duapuluh lima; Senin – bernilai enam; dan Kamis – bisa bernilai empat, empat belas, atau duapuluh empat. Aturan perhitungan ini menurut legendanya dulu ditentukan oleh Wali Songo yang memasukkan Islam di Bayan. Sekarang cara perhitungan ini sudah jadi bagian budaya Sasak.

Sesudah hari baik bulan baik ditemukan, maka pada hari itu pembangunan rumah dimulai. Untuk itu ada aturan untuk urutan membangun yang harus ditaati. Urutan pertama dan yang terpenting, ialah bagian yang harus terlebih dahulu didirikan ialah induk rumah yang disebut sekenem, atau bagian tengah rumah yang berdiri diatas enam tiang. Sesudah rumah selesai dibangun, dicari lagi hari baik untuk mengadakan selamatan sebelum rumah dihuni. Selamatan ini bertujuan untuk mengamankan unsur-unsur rumah seperti tiang dan kayu-kayu rumah lain dari penyakit. Hari baik ini dicari dari bulan Arab yang bernilai satu atau paling banyak sepuluh. Hari yang paling baik disebut “diwasa arah gunung” atau “dewasa lakunya angin”. Keseluruhan rentetan tata cara ini bertujuan untuk menghormati bumi, karena segala sesuatunya yang hidup ini dianggap oleh orang Sasak sebagai datang dari bumi.

Mengenai upacara membangun rumah, disamping yang telah disebut diatas, dan yang berkaitan dengan penghormatan kepada bumi, ada lagi satu upacara khusus. Upacara ini disebut : berbakti kepada bumi yang maksudnya ialah untuk menyingkirkan iblis, dan dilaksanakan untuk suatu jenis pembangunan rumah baru diatas tanah baru yang belum pernah sebelumnya dijamah tangan manusia. Upacara ini dilakukan dalam bahasa Sasak Raja, ialah hanya Kiai dan kepala desa.

Aturan lain untuk bangunan yang perlu dicatat ialah bahwa ukir-ukiran dan ornament lain termasuk warna hanya boleh dipergunakan untuk berugaq dan yang tidak mempunyai arti atau perlambang apapun. Berugaq yang terdapat di desa Bayan ini juga termasuk jenis sekenem, yaitu berdiri diatas enam tiang. Disinipun berugaq hanya berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dan tidak mempunyai fungsi keagamaan. Dalam survey, malah nampak fungsi-fungsi lain dari berugaq yaitu misalnya sebagai tempat tidur, dan tempat mengobrol kaum wanita. Disini nampak fungsi sosial berugaq, yaitu tempat berkumpul secara informal. Hal ini mungkin disebabkan karena fungsi semacam ini kurang bisa ditampung oleh pembagian ruangan rumah-rumah di Bayan yang juga berserambi. Tetapi untuk menampung fungsi sosial semacam ini serambi rumah memerlukan perletakan tempat untuk duduk, sementara dalam bangunan berugaq tempat duduk sudah menjadi unsur yang menyatu.

Lumbung yang terdapat di Bayan ini termasuk jenis Alang, yaitu lumbung yang berderajat paling tinggi. Penempatan alang di Bayan sudah tidak mengikuti pola tradisional lagi. Dulunya alang memang terdapat di daerah hunian, tetapi dalam rangka program perbaikan suasana desa, alang-alang ini dikumpulkan disuatu tempat terpisah dari daerah pemukiman. Program ini diprakarsai oleh pamong desa yang bertujuan membersihkan dan menertibkan suasana desa. Masalahnya nampaknya adalah sudah banyak rumah-rumah non tradisional yang didirikan penduduk di antara rumah-rumah tradisional, sementara lahan pemukiman adalah daerah berbukit. Karena percampuran jenis arsitektur yang demikian ini merusak pola tata letak desa sehingga memberi kesan tak teratur, apalagi pada daerah perbukitan.

Sebagai bagian dari upaya penertiban pola tata letak ialah peningkatan jalan setapak desa yang sebagian sudah diperluas dan diberi berbatas dengan susunan batu yang ditanam. Perbedaan ketinggian lahan disesuaikan pula dengan tangga yang diperkeras. Suasana keseluruhan memang menunjukkan kebersihan dan kerapian tetapi yang tidak merusak suasana keakraban desa, penduduk masih menunjukkan semangat gotong royong yang tinggi dalam memelihara ruang-ruang bersama seperti halaman dan jalan setapak.

Selain alang, tidak dijumpai adanya lumbung-lumbung bentuk lain. Ada beberapa alasan untuk ini. Alasan pertama ialah adanya inen bale dalam rumah yang berfungsi sebagai ruang simpan serba guna. Karena itu jenis lumbung lain tak diperlukan. Alasan lainnya ialah masih dipegangnya pembagian kasta secara ketat oleh penduduk Bayan, dan gelar itu tidak disandang sekedar sebagai tambahan nama tetapi dikaitkan dengan konsekwensi martabat dan derajat sosial seseorang. Sementara itu di desa ini orang dari kasta tinggi masih banyak didapati, dan ini menunjukkan kaitannya dengan sejarah Bayan sebagai bekas kedudukan kerajaan. Dengan demikian karena alang itu hanya boleh dibangun oleh anggota masyarakat bangsawan, makanya adanya lumbung ini jelas ada hubungannya dengan banyaknya penduduk yang bergelar Raden di Bayan.

Di tengah desa terdapat suatu komplek pemukiman lengkap yang terdiri dari rumah, berugaq, dapur dan lumbung. Disamping lengkap kompleks ini juga masih mengikuti pola tata letak tradisional. Memasuki kompleks ini diperlukan beberapa persyaratan yang masih dipertahankan, yaitu sebagai berikut. Yang boleh memasuki kompleks ini sehari-hari hanya angota keluarga. Tamu non keluarga hanya boleh masuk kalau memberitahu tuan rumah dulu dan tuan rumah ini masih berkasta tinggi, dan merupakan sesepuh serta ketua Adat Desa Bayan. Kalau tamu tadi mendapat perkenan, maka akan diberitahu mengenai tanggal dan hari tamu tadi boleh berkunjung. Tanggal dan hari ini dihitung dulu oleh tuan rumah, dicarikan hari baik. Pada hari yang telah ditentukan, maka tamu tadi hanya boleh masuk kalau menyandang pakaian adat lengkap seperti ditentukan tuan rumah. Dan tamu ini hanya boleh masuk kompleks pada bagian tertentu saja, tidak boleh lebih jauh.

Peraturan adat yang ketat ini menyebabkan tim survey tak dapat memasuki dan merekam keadaan kompleks. Sekeliling kompleks ini didirikan pagar anyaman bambu yang cukup tinggi sehingga tak tembus pandang dari luar. Keterangan mengenai bangunan dan pola tata letak dalm kompleks ini didapat dari orang yang pernah masuk dan orang yang pernah menyaksikannya dari atas ketika memanjat pohon. Kompleks ini dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing dipisah dengan sekat pagar anyaman bambu. Bagian pertama dan yang boleh dikunjungi tamu non keluarga terdiri dari berugaq-berugaq. Bagian ini dihubungkan dengan daerah hunian yang terdiri dari beberapa rumah dan hanya boleh dimasuki oleh tamu keluarga atau anggota keluarga sendiri. Daerah hunian ini dihubungkan dengan dua bagian kompleks lain yaitu wilayah wanita dan wilayah pelayanan. Wilayah wanita ini juga terdiri dari beberapa rumah dan hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga langsung atau tamu keluarga wanita. Daerah pelayanan terdiri dari bangunan-bangunan dapur dan lumbung, dan hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga langsung.

Selain bangunan-bangunan diatas, di Desa Bayan, terdapat sebuah mesjid kuno yang usianya sudah ratusan tahun. Mesjid ini pada waktu-waktu keagamaan tertentu masih dipergunakan. Yang menakjubkan ialah bahwa mesjid ini struktur utamanya ialah bambu dengan atap ilalang dan masih dalam keadaan baik dan halamannyapun nampak terawat rapi. Di halaman masjid ini terdapat beberapa makam. Menurut keterangan penduduk, makam ini adalah kuburan pendiri dan anggota kerajaan Bayan dulu. Keseluruhan kompleks masjid ini terletak di puncak bukit yang cukup tinggi, hanya sayangnya, lembah sekitarnya tidak terawat. Untuk mengamankan, sekeliling mesjid diberi berpagar bambu yang juga tidak terawat. Dengan perawatan yang cukup sebetulnya masjid ini bias dijadikan daya tarik dan land mark Desa Bayan.

Pandangan Penduduk Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Desa ini sendiri sudah memiliki potensi ekonomi yang sudah berkembang dan sudah melembaga. Akibatnya, daerah pemukiman sepanjang jalan tersebut diatas sudah kehilangan karakter tradisionalnya, bahkan beberapa bentuk non tradisional sudah terserap dan memasyarakat. Sementara itu di tengah desa terdapat suatu komplek hunian kecil yang masih tradisional. Meskipun demikian, komplek inipun sudah mulai dimasuki unsur-unsur non tradisional. Di Bayan, batas fisik yang tegas itu tidak ada. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan adanya suatu lokasi pemukiman milik satu keluarga yang dikelilingi pagar dan tidak mengundang orang luar. Dilokasi ini segala sesuatunya masih dalam bentuk tradisional utuh baik bangunannya maupun cara hidupnya.

Ada gejala menarik pada perkembangan rumah tradisional di Bayan. Beberapa rumah tradisional nampak sedang direhabilitasi bentuknya, tetapi menggunakan bahan-bahan non tradisional. Misalnya dinding yang seharusnya anyaman bambu diganti dengan batu bata, sedang atap alang-alangnya diganti dengan genting. Gejala ini mungkin timbul akibat relokalisasi kompleks perumahan tradisional ini dari tempatnya semula dalam rangka pemugaran arsitektur tradisional di Bayan. Proyek relokalisasi ini bertujuan untuk juga membendung arus tumbuhnya bangunan-bangunan non tradisional yang dikhawatirkan akan merubah citra desa dari masyarakat yang berpola Sasak. Tetapi selera penghuni terhadap bahan bangunan non tradisional akhirnya memberi suasana baru pada kompleks ini, terutama karena daerah hunian dibebaskan dari lumbung-lumbung alang yang diberi lokasi tersendiri. Merembesnya pemakaian bahan baru ini juga muncul dalam unsur desa yang lain seperti jalan setapak dan fasilitas MCK.

Dari responden yang berpartisipasi dalam wawancara, hanya satu yang masih tinggal di rumah tradisional dalam bentuk asli, beberapa tinggal di rumah tradisional yang telah mengalami perubahan, sedang sebagian terbesar sisanya tinggal di rumah non tradisional. Sementara penghuni rumah tradisional inipun ternyata juga memiliki rumah-rumah lain berbentuk non tradisional. Tidak satupun responden yang apabila memiliki biaya akan membangun rumah tradisional dalam bentuk aslinya. Mereka yang memiliki bentuk rumah tradisional menginginkan adanya perubahan fungsi-fungsi lain. Sedangkan sebagian terbesar responden lebih menyukai bentuk rumah non tradisional.

Akan tetapi mengenai pelestarian rumah tradisional, sebagian terbesar responden menyatakan bahwa rumah tradisional Sasak dalam bentuk aslinya harus dipertahankan. Meskipun demikian, hanya sebagian kecil yang menyampaikan alasan positif seperti pelestarian tradisi atau yang menyampaikan bahwa rumah Sasak itu sebetulnya lebih nikmat untuk ditinggali. Kalau demikian terjadi tanda tanya, mengapa mereka ini memilih untuk tinggal di rumah non tradisional? Sangat disayangkan bahwa sebagian menolak untuk memberikan alasan mereka. Mungkin ini ada kaitannya dengan persyaratan adat yang dikaitkan dengan pembangunan rumah. Hanya sebagian kecil yang menyatakan bahwa adat membangun rumah tradisional perlu dipertahankan secara murni. Sebagian menginginkan ada perubahan-perubahan dalam syarat adat membangun dan seorang menyatakan bahwa tata cara adat mendirikan rumah harus ditinggalkan sama sekali. Rupanya masalah adat tradisional ini merupakan masalah peka bagi responden, karena sebagian dari mereka menolak untuk memberikan jawaban. Hal ini juga merupakan dari reaksi mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan pada masalah bangunan-bangunan tradisional lain seperti lumbung dan berugaq.

Untuk sarana membersihkan badan, desa telah menyediakan fasilitas MCK yang menurut kondisi lokal sudah memadai. Fasilitas yang disediakan desa ini berupa kamar-kamar kecil dan ruangan mandi yang beratap dan berdinding batu. Fasilitas untuk laki-laki juga dipisahkan dari yang untuk wanita. Menurut pamong desa, penyediaan fasilitas ini adalah untuk menjamin kesehatan penduduk dan sesuai dengan moral agama. Akan tetapi sebagian besar penduduk masih mandi di kali yang meskipun berair jernih, tetapi tempatnya sangat terbuka, terletak dekat jalan-jalan aspal, serta pemisahan tempat laki-laki dan wanita belum cukup untuk membatasi pandangan. Rupanya masalah moral disini mempunyai nilai yang lain daripada standard “norma kota”. Keadaan tak berpakaian di tempat-tempat mandi nampaknya bisa diterima masyarakat yang tidak mengkaitkannya dengan nilai moral.

Suatu fasilitas umum dalam konteks ini yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan yang diterima masyarakat dengan baik ialah adanya sarana penjernihan air sederhana. Sarana ini mengalirkan air ke bak-bak mandi MCK, dan ke pancuran yang melayani kebutuhan minum penduduk. Akibat hal ini, dan peraturan adat yang tidak memperkenankan penduduk membuang hajat di saluran-saluran air telah membantu menjaga kesehatan masyarakat.

Konsep-konsep dasar kesehatan nampaknya telah membudaya pada masyarakat. Hal ini adalah dampak positif masuknya unsur arsitektur non tradisional ke desa Bayan. Hampir semua responden menyatakan bahwa rumah mereka cukup berjendela, berventilasi, dan terkena sinar matahari. Demikian juga mengenai makanan masak yang sebagian terbesar responden menyediakan lemari-lemari khusus untuk penyimpanannya. Hanya dalam soal dapur, yang pada sebagian terbesar responden letaknya bersatu dengan rumah, tidak memiliki sarana ventilasi yang cukup. Sebagian asap dapur masih dilewatkan jendela, sementara ada juga yang malahan masih melalui atap dan ruang-ruang lain.

Ide tentang arsitektur modern, setidaknya dasar-dasar pemikirannya sudah cukup dikuasai masyarakat. Dan hal ini nampaknya juga ada kaitannya dengan pendidikan. Sebagian besar responden memang mempunyai pendidikan yang cukup, yaitu diatas SD enam tahun, bahkan ada yang pernah mengalami pendidikan akademis. Tetapi kalau dihubungkan dengan pekerjaan mereka, jawaban responden agak membingungkan analisa, karena sebagian menyatakan tidak bekerja. Perlu diteliti apakah keadaan ini menandakan pengangguran, atau indikasi bahwa responden memiliki sumber penghasilan dari sector-sektor yang tidak bisa dikatagorikan masyarakat Bayan sebagai pekerjaan.

Dalam hal-hal yang menyangkut pola hidup tradisional, termasuk arsitekturnya, para pemuka masyarakat menunjukkan konservatif dan sangat kokoh pendapatnya untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sasak. Tetapi mereka nampak cukup liberal dalam pandangan mengenai aspek-aspek non tradisional seperti misalnya penggunaan bahan bangunan. Kalau pemilik rumah sudah memilih untuk tidak mengikuti bentuk tradisional, maka kecuali mengenai perhitungan hari, segala sesuatunya diserahkan pada pertimbangan calon penghuni. Tetapi dalam hal-hal yang menyangkut hubungan pria-wanita, mereka ini dan juga responden ternyata masih memiliki nilai-nilai moral yang cukup tinggi dan tidak ada gejala bahwa hal ini akan dikendurkan.

BON JERUK DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH
Legenda Asal-usul
Seorang tokoh Bon Jeruk menyebut legenda lain mengenai asal-usul suku Sasak ini. Penduduk Sasak ini berasal dari Selatan yaitu Pulau Pujon ( ? ). Mereka datang mengendarai Sasak, yaitu sejenis perahu, dan karena itu penduduk asli Lombok disebut orang Sasak. Sementara itu, sejak dari perkembangan masyarakat Lombok ini penduduk sudah sering mengadakan hubungan dengan wilayah-wilayah Indonesia Timur sampai sungai Talaud, sedangkan ke Barat sampai kerajaan Sriwijaya, oleh karena itu logat Sasak sangat dipengaruhi budaya oleh logat Palembang. Tetapi pola sosialnya sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa, sehingga pengaruh kerajaan Majapahit selalu disebut sebagai unsur budaya Sasak yang terkuat. Karena itu orang Lombok juga mengenal cerita wayang kulit. Legenda ini diperkuat oleh keterangan penduduk Desa Sada Kecamatan Rembitan yang mengatakan bahwa asal-usul Lombok ialah campuran orang Majapahit dan Malaka.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional
Arah buk-buk atau wuwungan rumah di Bon Jeruk juga Utara Selatan, sedang pintu ditempatkan di bagian Barat dan Timur rumah. Tetapi mengenai arah bangunan dan letak pintu ini ada penjelasan lain yaitu sebagai berikut. Arah utara selatan itu ialah arah kematian, karena menurut kepercayaan orang Bon Jeruk orang meninggal itu masuk jalan Selatan. Karena itu, arah masuk orang hidup harus berlainan yaitu Timur atau Barat. Akan tetapi kalau letak rumah di gunung, maka arah buk-buknya tidak boleh menusuk gunung, sehingga arah rumah disini bias Utara-Selatan atau Barat-Timur.

Menurut keterangan seorang sesepuh desa, arsitektur rumah tradisional di Bon Jeruk ini banyak dipengaruhi oleh adat Jawa. Salah satu contoh yang dikemukakannya ialah mengenai lantai rumah. Rumah di Bon Jeruk bukan bangunan panggung melainkan berlantai tanah. Bahan untuk lantai rumah adalah tanah dicampur dengan kotoran Kerbau. Tanah yang diperlukan untuk meninggikan lantai digali sedemikian rupa sehingga tidak mencapai lapisan tanah liat, kalau tidak lantai akan hancur. Mungkin karena tanah liat tidak bersenyawa dengan kotoran kerbau sehingga menghasilkan aduk lantai dengan persyaratan yang dibutuhkan.

Ada cara khusus untuk membangun lantai rumah yang hanya dilakukan oleh orang kaya saja karena membutuhkan biaya yang cukup mahal. Cara melakukannya ialah sebagai berikut. Di sekitar wilayah calon lantai rumah dibuat dulu cetakan lantai dari anyaman bambu sekeliling sisi luar. Cetak ini kemudian diisi tanah dan ijuk secara berselang-seling seperti diatas, bahan aduk lantai ialah campuran tanah dan kotoran kerbau. Sesudah selesai, cetakan bambu ini tidak dibongkar, melainkan dibiarkan sampai lapuk sendiri, yang biasanya mengambil waktu sampai sekitar sepuluh tahun. Lantai yang dibangun dengan cara demikian ini akan kuat sekali dan tahan lama, bahkan lebih lama dari bagian-bagian rumah lain. Lantai ini juga tidak akan larut oleh air, serta tahan terkena sinar matahari.

Bahan utama rumah selain lantai ialah kayu, pokok-pokok kelapa, dan bambu. Bahan untuk atap ialah ilalang yang kalau pengerjaannya tepat dapat bertahan lebih dari delapanpuluh tahun. Tiap rumah hanya memiliki satu pintu dan tanpa jendela, sehingga keadaan dalam rumah cukup gelap. Pintu rumah digunakan tipe sorong, atau istilahnya di Bon Jeruk ialah “lawang gongsar”. Dalam merencanakan sebuah rumah, yang menjadi standard ialah ukuran istri. Ada beberapa hal pokok yang sangat diutamakan dalam hal ini, yaitu jarak antara usuk bambu rangka atap tidak boleh melebihi lebar kepala istri pemilik rumah, sedang ukuran dalam rumah harus memudahkan pemeliharaan oleh istri. Demikian juga tinggi “lagan” atau tempat simpan alat dapur harus bias dicapai oleh istri. Setelah semua ukuran pokok ini ditentukan, ukuran bagian-bagian rumah lain mengikuti saja.

Yang menjadi ketentuan pula ialah jumlah undak-undakan atau tangga rumah yang harus selalu tiga.
Ada bagian rumah yang perletakannya menarik, yaitu serambi. Serambi ini berada di depan pintu masuk rumah dan masih di bawah atap. Serambi ini dibagi dua bagian yang ditentukan oleh letak pintu rumah yang tidak tepat di tengah dinding, tetapi agak ke Selatan. Dengan demikian ada “betaran pendek” atau serambi pendek yang di Selatan, dan “betaran panjang” atau serambi panjang di sebelah utara. Di dalam fungsinya, kedua betaran ini berbeda. Betaran panjang ialah tempat duduk-duduk menerima tamu, sedang betaran pendek ialah tempat duduk-duduk penghuni rumah. Letak sisi panjang dan pendek ini diikuti terus sampai ke pembagian dalam rumah. Meskipun sekarang dapur di di rumah tradisional Bon Jeruk itu berada di luar rumah dan diberi bangunan tersendiri, aslinya dapur itu berada dalam rumah. Dalam bentuk aslinya ini, dapur itu diletakkan di dalam rumah pada sisi pendek. Sementara itu ruangan tidur ditempatkan pada sisi panjang. Dengan demikian rumah tradisional yang secara umum bentuk luarnya simetris ini, ternyata dibagi secara asimetris.

Perletakan sisi panjang dan sisi pendek ini mempunyai perlambang. Sisi pendek, jadi yang sebelah selatan, itu menggambarkan kehidupan ekonomi. Karena itu dapur sebagai aktivitas ekonomi ditempatkan pada sisi pendek. Sedang sisi panjang melambangkan pola kehidupan sosial, dan karena itu betaran panjang itu diperuntukkan menerima tamu. Lebih lanjut perlambang ini mengisyaratkan agar warga Bon Jeruk dalam pola belanjanya hendaknya sehemat mungkin – sisi pendek sedangkan dalam kehidupan bermasyarakatnya harus sebaliknya yaitu manusia yang mengutamakan fungsi sosial – sisi panjang. Pandang hidup ini mempunyai kaitan pada aspek kehidupan lain yaitu “midang”. Dalam bahasa Sasak, midang ini berarti kunjungan pergaulan antara bujang dan gadis. Pada waktu berkunjung, maka pihak tamu yaitu bujang harus hati-hati dalam memilih tempat duduk. Kalau bujang sampai salah duduk di serambi pendek, maka ia dianggap sebagai pemuda yang boros dalam hidupnya, sehingga sebagai calon suami ia tidak akan terpilih.

Bangunan tempat duduk-duduk yang berbentuk berugaq tidak dikenal untuk orang kebanyakan di Bon Jeruk. Bagi orang kebanyakan, tempat duduk-duduk ini berbentuk bale tajuk. Kehadiran bale tajuk disini menunjukkan pengaruh Bali, karena masyarakat Bali mengenal bangunan dengan bentuk, fungsi dan nama yang sama. Berbeda dengan berugaq yang berlantai panggung, bale tajuk ini berlantai tanah yang ditinggikan seperti halnya sebuah rumah. Tetapi bale tajuk yang tinggal satu-satunya di daerah survey ini juga telah berubah fungsi menjadi surau. Sementara itu, berugaq hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan. Di Bon Jeruk ini, berugaq yang paling sering ditemui ialah yang dinamakan sekenem atau bertiang enam. Disamping sekenem dikenal lagi dua macam berugaq yaitu sekepat – bertiang empat, dan sekewolu – bertiang delapan. Kedua macam berugaq ini sangat jarang ditemui. Masih ada lagi jenis berugaq yang dikenal dengan nama sekepuluh yang bertiang sepuluh, tetapi berugaq ini sangat khusus dan hanya untuk bangsawan tinggi. Baik berugaq maupun bale tajuk sudah tidak ditemui lagi di Bon Jeruk.

Masyarakat Sasak di Bon Jeruk mengenal empat jenis lumbung, yang menurut derajatnya diurutkan dari yang paling rendah ke yang paling tinggi adalah : lumbung, sambi, ayung dan alang. Lumbung adalah yang paling kecil, sekedar dibuat dari bedek atau anyaman bambu melingkar, dan karena itupun isinya sedikit. Keuntungan dari lumbung ini ialah dapat ditempatkan di mana saja, dan dapat dibangun tanpa upacara apapun. Lumbung, berbeda dengan ketiga jenis yang lain, didirikan langsung diatas tanah tanpa kaki. Sambi, jenis lumbung kedua, isinya lebih besar dan bangunannya mulai berpanggung, dan dibawahnya, diantara keempat kakinya biasanya dimanfaatkan untuk tempat simpan. Selanjutnya Ayung adalah adalah lumbung yang sangat besar, bahkan lebih besar dari alang, berbentuk panggung dan di bawahnya sering dipergunakan untuk kandang sapi. Yang terakhir ialah alang yang paling tinggi derajatnya di antara semua jenis lumbung, dan hanya dimiliki orang kaya atau bangsawan. Meskipun alang ini kalah besar dari ayung, tapi alang ini dilingkungi oleh adat secara ketat, baik dalam pembangunannya maupun penggunaannya. Ruangan di bawah alang bias digunakan untuk tempat duduk-duduk.

Karena posisinya yang sangat khusus dalam budaya Bon Jeruk, tidak asal tukang berani dan/atau diperkenankan turut dalam pembangunan alang. Alang hanya boleh dibangun oleh tukang yang ahli dalam arti ketrampilan tukang dan memiliki ilmu batin yang dalam. Bahan untuk membuat alang, terutama tiangnya, dipilih dan dipersiapkan secara khusus. Untuk membangun alang, tiang dan lantai dibuat dulu serta dimanterai oleh mendagi atau ahli bangunan tradisional Sasak agar kuat dan dan berfungsi dengan baik nanti kalau sudah jadi. Sesudah lantai dan tiang selesai didirikan, pekerjaan ditinggal dulu selama tiga tahun. Sementara itu mendagi akan memanterai dengan doa-doa yang memohon agar alang baru ini nanti diterima oleh bumi. Setelah tiga tahun, baru pembangunan ini diselesaikan. Sebelum pengisian alang yang pertama kali, diadakan upacara agar bumi mau mau menerima alang baru tersebut sehingga bangunan ini dalam menampung beban padi yang berat tidak roboh. Kalau semua persyaratan adat secara sempurna, dan alang tetap berfungsi seperti yang ditentukan oleh adat dan tidak hanya sekedar tempat menyimpan padi, dan tetap dipelihara sehingga tetap bersih, maka tak akan ada hama atau tikus yang mampu merusak padi di dalamnya, lebih dari itu menurut kepercayaan tikus bahkan akan mati kalau berani masuk alang.

Selanjutnya ada aturan adat yang ketat juga mengenai penggunaan alang sehari-hari. Alang diisi dengan ikatan-ikatan padi secara berlapis-lapis. Untuk memanfaatkan tempat agar alang dapat diisi padi sebanyak-banyaknya, karena ikatan padi itu menyerupai kerucut, maka posisi ikatan padi itu pada setiap lapisan selalu berlawanan arah bujurnya dari lapisan berikutnya. Sementara itu, dua lapisan terbawah tidak boleh dibongkar untuk keperluan sehari-hari, karena lapisan ini hanya dicadangkan untuk keperluan upacara kematian pemilik alang. Dan untuk aturan ini tidak ada perkecualian, meskipun konsekwensinya harus menghadapi kelaparan. Dua lapisan terbawah ini baru boleh dibongkar, selain untuk upacara kematian, hanya kalu padinya sudah masak dan kemudian diganti dengan dua lapis padi baru, dan demikian seterusnya.

Untuk keperluan sehari-hari, padi dari alang hanya boleh diturunkan paling sering satu minggu sekali, tidak boleh lebih. Hanya dalam keadaan sangat mendesak padi boleh diturunkan dari alang dua kali maksimum dalam seminggu, tidak ada perkecualian. Dan untuk keperluan mendesak inipun amat sangat jarang dilakukan orang, karena menurunkan padi dari alang sampai dua kali seminggu ini menunjukkan bahwa keluarga itu dan/atau sang ibu rumahtangga sangat boros hidupnya. Selanjutnya, meskipun yang menaikkan dan mengisi alang ini adalah kaum laki-laki, hanya wanita yang diperkenankan mengambil padi dari alang. Dan untuk menurunkan padi ini, wanita tersebut harus berpakaian adat. Dalam masyarakat Bon Jeruk, memang tugas laki-laki untuk mencari nafkah, tetapi kemudian hasil seluruhnya berada di bawah pengelolaan istrinya.

Masalah kehormatan ekonomi suatu rumah tangga, yang dianggap sebagai ciri karakter kemampuan seorang istri, harus ditunjukkan dalam bentuk penghematan pola belanja. Dan norma ini merupakan suatu nilai sosial yang amat penting Bon Jeruk dan karena itu sangat dijaga orang. Lebih dari itu, seorang istri yang dapat menunjukkan bukti operasi rumah tangga yang hemat akan menentukan pandangan mertuanya (orangtua suami). Pandangan mertua terhadap seorang ibu rumahtangga akan sangat tinggi apabila ibu rumahtangga ini ternyata dapat meningkatkan nilai ekonomi keluarga dibandingkan dengan nilai ekonomi ketika perkawinan. Keluarga yang demikian justru akan dapat bantuan dari pihak orangtua suami, agar kemampuan ekonomi keluarga baru ini makin cepat meningkat. Dan sebaliknya yang akan terjadi bila seorang istri ternyata boros. Ini adalah norma sosial yang tinggi, yang senantiasa mendorong orang untuk maju. Sementara itu, pengertian hemat dalam operasi ekonomi keluarga itu tidak hanya terbatas pada urusan hidup. Setiap keluarga Sasak di Bon Jeruk harus pula menabung untuk kepentingan akhirat dan hari kemudian, seperti contohnya diatas yaitu menyimpan dua lapis padi untuk keperluan kematian pemilik alang.

Perhitungan mencari hari baik untuk pembangunan juga dikenal di Bon Jeruk. Akan tetapi perhitungan harinya didasarkan pada kalender Sasak dan bukan bulan Arab. Kalender Sasak ini sangat mirip dengan perhitungan Masehi, sehingga dalam satu tahun selisihnya sekitar sepuluh atau sebelas hari dari perhitungan tahun Arab. Bulan pertama ditandai dengan munculnya gugus bintang Rowot (bintang tujuh) yang bertentangan dengan bintang Pari. Aturan dalam membangun rumah yang perlu diperhatikan ialah bahwa bangunan rumah tak boleh lebih tinggi dari masjid. Mengenai arah rumah yang Utara – Selatan, ternyata aturan ini hanya mengikat orang kebanyakan. Kaum bangsawan sering menentang aturan ini dengan membuat arah rumahnya Barat – Timur. Sehingga arah buk-buk rumah ini rupanya, disamping mempunyai perlambang, adalah juga masalah identitas saja, agar penghuni rumah yang orientasinya berbeda itu dikenal sebagai bangsawan.

Mengenai upacara adat untuk pembangunan, rupanya ada aspek-aspek yang dianggap bertentangan dengan agama Islam, dan masyarakat Bon Jeruk menempatkan agama Islam di atas ketentuan adat. Sehingga upacara-upacara tersebut sudah tidak dipersyaratkan lagi. Oleh para Kiai dan tokoh masyarakat memang ditekankan bahwa dalam memelihara adat Sasak itu diperhatikan sedemikian rupa sehingga tidak ada nilai-nilai dan kaidah-kaidah Islam yang dilanggar. Akibatnya dewasa ini sebagai upaya masyarakat untuk melestarikan nilai budaya mereka, banyak upacara adat yang dikaitkan dengan kegiatan agama. Tetapi sampai seberapa jauh keberhasilan perpaduan kedua unsur pandangan ini, merupakan masalah yang masih dipertanyakan. Sebagai contohnya adalah upacara yang diterangkan di bawah ini.

Upacara adat terbesar yang masih dipertahankan di Bon Jeruk ialah selamatan potong rambut pertama bagi bayi. Untuk keperluan upacara ini dipotong duapuluh ekor sapi yang dibebankan kepada rumpun desa. Satu rumpun desa biasanya terdiri dari empatpuluh delapan keluarga. Dalam upacara selamat ini terdapat dua bagian kegiatan yang berbeda, yaitu “jelo jait” dan jelo gawe”. Jelo jait ialah upacara ke makam untuk mengundang arwah leluhur agar ikut menghadiri pesta, mohon doa restu, dan menyaksikan jalannya upacara. Jelo gawe ialah selamatan sendiri.

Menurut adat asli Sasak, kecuali kandang kuda, tak ada binatang di dalam desa. Tetapi menurut seorang tokoh masyarakat, perkembangan suasana sekarang ini menumbuhkan sifat egois sehingga kandang semua binatang masuk dalam wilayah hunian desa. Tetapi mungkin ini juga karena pertimbangan keamanan. Mungkin dulu orang Sasak tidak mengenal pencuri, tetapi karena beberapa hal, kini pencurian sudah menjadi salah satu bagian kehidupan. Sementara itu perkembangan baru disamping menumbuhkan fungsi baru seperti kandang, ada juga jenis-jenis bangunan yang justru menghilang. Dulu masyarakat Bon Jeruk mengenal bangunan untuk menumbuk padi yang letaknya diluar desa, sekarang dengan dikenalnya mesin penumbuk, bangunan ini tak berfungsi lagi dan sudah tidak dibangun orang. Selain itu proses menampi padi masih dilakukan, tetapi harus dikerjakan diluar batas wilayah hunian. Demikian juga dengan mesin-mesin penumbuk padi, harus berlokasi diluar desa, hanya menumbuk padi dengan lesung boleh dilakukan dalam desa.

Ada pengaruh Bali yang mempengaruhi pola penggarapan sawah. Sebagian tanah Pulau Lombok itu terdiri dari tanah liat yang menyulitkan pengerjaan sawah dengan tangan dan cangkul. Karena itu cara Lombok asli dalam menyiapkan sawah ialah dengan melepas Kerbau untuk menginjak-injak lahan persawahan. Masuknya budaya Bali dalam mengerjakan sawah yang membutuhkan jenis sawah yang lebih baik, tetapi yang ditiru orang Lombok, mengakibatkan banyak persawahan Lombok menjadi rusak dan kering dan berkembang menjadi daerah minus.

Pandangan Penduduk Lokasi Survei Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Bangunan tradisional di Bon Jeruk sudah menjadi suatu yang langka. Hanya satu kompleks bangunan milik satu keluarga yang masih agak lengkap unsurnya, dan berkumpul pada satu lokasi. Jenis bangunan yang ada pada kompleks ini terdiri dari rumah, lumbung alang dan ayung dan satu bale tajuk yang telah berubah menjadi surau.

Bangunan-bangunan lain yang terletak di kompleks ini yang masih menjadi milik anggota keluarga yang sama sudah tidak berbentuk tradisional lagi. Bangunan yang tradisionalnyapun nampaknya kurang terpelihara. Untuk mencegah punahnya bangunan tradisional dari desa Bon Jeruk, seorang tokoh kebudayaan di desa ini mengusahakan agar kompleks ini dipugar, dan keseluruhan kompleksnya dimaketkan.
Arsitektur tradisional itu sebetulnya tidak hanya terdiri dari aspek bangunan saja, tetapi meliputi pula sistim pola tata letak dan lingkungan. Aspek lingkungan inilah yang telah punah demi khasanah tradisional Bon Jeruk. Bangunan-bangunan non tradisional di Bon Jeruk mungkin masih mengikuti pola lingkungan secara adat, tetapi kalau bangunan sudah berubah kemungkinan pergeseran tata letaknyapun sudah terjadi. Lebih lanjut, karena arsitektur itu juga bagian dari kehidupan, perubahan pola hidup jelas besar pengaruhnya pada arsitektur. Perubahan yang besar disini adalah pada pertaniannya yang sudah digalakkan untuk meningkatkan produksi pangan.

Memang disini ada suatu dilema, disatu pihak ada usaha kearah penggalian dan pelestarian arsitektur tradisional, tetapi pada aspek kehidupan lain dituntut adanya peningkatan yang membutuhkan perubahan-perubahan mendasar dalam tata hidup masyarakat. Tetapi sebetulnya aspek-aspek kemasyarakatan itu tak perlu dipertentangkan. Kalau tujuan pelestarian arsitektur tradisional itu tujuannya untuk menghidupkan kembali bentuk-bentuk lama secara murni, jelas ini bertentangan dengan tata masyarakat yang selalu berubah.

Sebagian terbesar responden di Bon Jeruk kenyataannya tinggal dirumah non tradisional dan hanya satu yang masih tinggal di rumah tradisional asli Sasak. Kemudian ternyata tidak satupun responden yang kalau membangun rumah tradisional dalam bentuk aslinya. Hanya seorang dari responden yang berniat membangun rumah tradisional, itupun dengan variasi dari bentuk aslinya, terutama dalam penggunaan bahan. Alasan yang diberikan misalnya demi kesehatan dan kebersihan dan bukan hanya sekedar ikut-ikutan. Walaupun demikian, kecenderungan ini tidak konsisten dengan keinginan mereka untuk tetap mempertahankan bentuk rumah tradisional tanpa perubahan dan demikian juga dengan keseluruhan adat membangunnya.

Sebagian terbesar responden menyadari bahwa fungsi rumah itu tidak hanya sekedar tempat berteduh. Responden-responden ini berpendapat bahwa rumah itu mempunyai nilai-nilai yang lebih luas. Argumentasi yang dikemukakan ialah bahwa suasana rumah harus sesuai dengan tata cara hidup integral dan harus bisa mendukung pola hidup penghuninya. Karena itulah mereka ini menyatakan bahwa pelestarian arsitektur Sasak itu harus memperhitungkan pula perubahan-perubahan tuntutan yang sekarang ini terjadi akibat penggalakan pembangunan nasional.

Mengenai lumbung, responden secara aklamasi berpendapat bahwa semua bentuk lumbung tradisional harus dipertahankan karena bentuk lumbung Sasak ini merupakan ciri karakter yang paling kuat dari arsitektur Pulau Lombok. Lebih lanjut, sebagian terbesar responden berpendapat bahwa dalam pelestarian bentuk lumbung, aspek tradisi pembangunannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari arsitekturnya. Akibatnya, semua tata cara membangun lumbung oleh sebagian terbesar responden dirasakan perlu untuk dipertahankan juga. Masalah yang dianggap mengganjal disini ialah mengenai penggunaannya sehari-hari, terutama lumbung alang. Jenis padi untuk disimpan dalam alang disyaratkan oleh adat harus jenis padi lokal. Ini bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah dan tuntutan kebutuhan pangan yang memang dirasakan sangat meningkat. Sebagian responden berpendapat bahwa dalam hal ini harus ada kelonggaran tradisi. Agar bentuk lumbung tetap bisa dilestarikan, fungsinya harus diperluas pula untuk bisa menampung jenis padi unggul.

Meskipun bentuk lumbung Sasak itu merupakan ciri arsitektur Sasak, sebagian responden tidak setuju kalau bentuk ini dipergunakan secara sembarangan untuk menampung fungsi-fungsi yang tak sesuai. Mereka berpendapat bahwa ada hubungan erat antara bentuk lumbung dengan fungsinya. Karena itu pelestarian bentuk menurut mereka harus diiringi dengan penyesuaian fungsinya. Akan tetapi karena ketatnya tradisi yang berkaitan dengan lumbung, dan tidak ada toleransi dari tokoh-tokoh adat dalam hal ini, sebagian besar responden kalau memiliki biaya, akan membangun lumbung dalam bentuk non tradisional. Rupanya masih ada unsur-unsur yang mengekang mereka untuk tidak melanggar norma-norma yang masih dianggap luhur oleh kebanyakan penduduk. Sikap demikian ini tercermin dari sikap mereka terhadap bangunan-bangunan tradisional secara keseluruhan, yang oleh seluruh responden dinilai paling penting adalah lumbung, sedang rumah sering hanya dinilai sebagai fasilitas penting nomor tiga sesudah bangunan-bangunan lain seperti bale tajuk dan masjid.

Pengertian akan aspek kesehatan juga nampaknya telah terserap oleh responden yang sebagian terbesar sudah memikirkan masalah ventilasi dan pencahayaan alam. Demikian juga mengenai penyimpanan makanan masak yang kebanyakan responden sudah menyediakan fasilitas penyimpanan khusus. Mengenai dapur, sebagian responden menyadari bahwa asap dan bau-bauan dari proses memasak itu mengganggu kesehatan, sementara bahan bangunan rumah yang tradisional seperti kayu dan bambu mudah terbakar. Untuk mengatasi masalah ini, sebagian responden memecahkannya dengan membangun dapur khusus terpisah dari bangunan rumah.



DESA SADE KECAMATAN REMBITAN
Legenda Asal-usul
Penduduk Desa Sada Kecamatan Rembitan yang mengatakan bahwa asal-usul Lombok ialah campuran orang Majapahit dan Malaka.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional

Di desa ini pada dasarnya dikenal empat bangunan dalam arsitektur tradisionalnya, yaitu rumah, lumbung, sekepat, dan kandang Kerbau. Tetapi dalam pembahasan ini hanya tiga jenis bangunan pertama yang akan didalami, karena kandang kerbau rupanya hanya merupakan tambahan dan belum lama dikenal dalam arsitektur tradisional desa ini.

Arah rumah di Desa Sada ditentukan oleh arah buk-buknya, itu disyaratkan untuk tidak menusuk gunung. Jadi, arah buk-buk harus sejajar dengan wajah gunung atau bukit. Sementara itu pintu rumah harus ditempatkan pada fasade bangunan yang menghadap ke lembah atau kaki gunung. Rumah juga mempunyai serambi panjang dan serambi pendek, tetapi tidak ada aturan duduk tamu seperti yang diterapkan di Bon Jeruk, meskipun secara geografis dan administratif Bon Jeruk dan Sada berada di wilayah yang sama. Meskipun demikian, pembagian serambi ini ada kegunaannya tersendiri. Pada waktu ada anggota keluarga yang meninggal, maka jenazah dibaringkan dulu di serambi panjang selama satu malam seperti disyaratkan oleh tradisi sada. Baru keesokan harinya jenazah dimakamkan. Mulai dari malam pertama orang ini meninggal, maka pendudik terutama keluarga mengadakan upacara tidak tidur sembilan hari sembilan malam di serambi dan seluruh serambi dipergunakan untuk ini. Tidak ada aturan dimana tamu harus duduk. Dengan masuknya Islam yang mengganti Islam Wetu Telu, biasanya jenazah langsung dikebumikan.

Sementara itu pembagian ruang dan unsur-unsur yang terdapat dalam rumah adalah sebagai berikut. Begitu masuk rumah, orang dihadapkan pada “lilih” atau ruangan tengah rumah. Kebiasaan orang kaya adalah memanfaatkan ruang tengah ini sebagai tempat untuk menumbuk padi, meskipun tidak ada adat yang mensyaratkan orang menumbuk padi dalam lilih. Dan kenyataan orang kebanyakan menumbuk padi di luar rumah. Menurut adat menumbuk padi ini pekerjaan wanita. Kalau mereka menumbuk dalam lilih, sedang udara dalam rumah itu panas itu panas karena kurangnya ventilasi, maka para wanita ini melakukannya dengan tidak berpakaian. Dengan demikian, kalau terdengar orang menumbuk padi dalam rumah, tamu yang hendak naik kerumah harus memberitahu tuan rumah akan kedatangannya dengan jalan berteriak dari luar, agar kedatangannya segera disambut oleh tuan rumah kalau kebetulan ada. Jika tuan rumah sedang keluar maka para penumbuk padi ini akan meneriakannya dari dalam, agar tamu tak jadi naik.

Kemudian di sebelah kanan pintu, jadi di arah sisi barat yang pendek terdapat “jangkih” atau dapur, sedangkan di sebelah kiri pintu ialah ruangan “bale dalam”. Fungsi dari bale dalam ialah untuk menyimpan harta kekayaan keluarga, termasuk beras untuk keperluan sehari-hari. Untuk menyimpan harta berharga, diatas bale dalam dibuatkan semacam lantai atas yang dinamakan “amben atas”. Disamping untuk menyimpan harta, bale dalam juga digunakan untuk keperluan melahirkan. Untuk ini bale dalam dilengkapi dengan lubang di lantai yang gunanya untuk membuang ari-ari dan sisa-sisa melahirkan yang lain.

Kebutuhan ruangan untuk tidur juga ditampung di dalam rumah. Akan tetapi kalau keluarga tadi mempunyai anak wanita, sesudah anak ini besar, maka hanya anak wanita ini yang boleh tidur dalam rumah. Sedangkan anak laki-laki bukan saja tidak boleh tidur dalam rumah, malahan harus tidur di luar. Setelah seorang anak laki-laki besar sampai dengan ia berumahtangga, anak tersebut harus tidur di berugaq. Tuan rumah dan istrinyapun, setelah anak wanitanya besar tidak tidur dalam rumah lagi melainkan di serambi. Rumah di desa Sada ini, serambinya berpagar anyaman bambu rapat setinggi bawah dada, sehingga untuk keperluan tidur serambi ini cukup memiliki “privacy”. Karena itu kalau ada tamu yang hendak berkunjung pada malam hari, dari kejauhan tamu ini sudah meneriakkan kedatangannya sambil memanggil nama tuan rumah dan memberi kesempatan tuan rumah mempersiapkan diri menyambut tamu.

Ada tiga upacara pokok yang harus dilaksanakan dalam membangun rumah di desa ini. Upacara yang pertama disebut “mamat”, yaitu upacara untuk pengerjaan kayu bangunan rumah yang pertama kali seperti misalnya melubangi. Yang harus disediakan disini ialah seikat “andang-andang” yaitu sejenis mata uang logam lama yang di tengahnya berlubang, “satak selae” atau 125 yang diikat dengan benang mentah. Kebutuhan lain ialah beras, pinang dan sirih. Sesudah persiapan selesai dimulailah mencari “dina wariga” atau hari baik dengan perhitungan bulan Sasak, yang bias dilakukan sendiri asal tahu caranya, atau menanyakan pada yang faham. Pada hari yang telah diperhitungkan ini dimulailah upacara mamat.

Cara mencari hari baik ini ialah dengan memperhitungkan kombinasi hari dengan peranannya, yang setiap kombinasi mempunyai nama sendiri. Keseluruhannya ada tigapuluh nama. Yang terbaik ialah “pagar wesi”, yang jatuh pada hari Minggu. Kalau untuk menunggu pagar wesi ini terlalu lama, bias ditentukan hari-hari baik lain juga harus diperhitungkan hari-hari naas yang harus dihindari misalnya tanggal 6, 16, atau 26 pada bulan VI, atau tanggal 7, 17 atau 27 pada bulan VII kalender Sasak.

Upacara kedua ialah untuk penanaman tiang yang pertama. Ini sangat kritis, karena disamping harus hari baik, juga harus pada jam baik. Untuk persiapannya diperlukan seikat alang-alang dan lubang untuk tiang ditanam. Untuk upacara ini harus diambil tiang sudut, dan yang terbaik ialah tiang Tenggara. Pada hari dan jam yang telah ditentukan tiang harus segera ditanam, dan selesainya alang-alang tersebut diatas harus segera diikatkan pada tiang sebagai pertanda selesainya upacara. Kalau sebelum alang-alang tersebut terikat pada tiang terjadi gempa bumi, maka apa yang telah dilakukan pada upacara ini dianggap batal, dan seluruh persiapan tanam tiang harus diulang kembali. Untuk mengiringi upacara ini diadakan selamatan untuk tukangnya saja, yaitu dipotongkan ayam yang darahnya harus membasahi ramuan tiang. Selamatan ini sebagai perlambang pengorbanan dan tak perlu ada korban manusia. Setelah ini selesai, tiang-tiang lain boleh ditanam kapan saja.

Yang ketiga ialah upacara “roch bale”. Upacara ini diadakan setelah rumah selesai dibangun tetapi sebelum ditempati. Maksud roh bale ini ialah mendoakan keselamatan calon penghuni rumah. Mengiringi upacara ini ialah selamatan dan untuk keperluan ini dipanggil Kiai.

Untuk pembangunan lumbung persyaratannya lebih berat lagi, karena di Sada lumbung yang ada ialah tipe alang. Tukangnya harus tukang ahli dan khusus, serta yang menghitung harinya juga harus yang betul-betul mahir. Upacara yang terberat ialah yang pertama yaitu untuk mendudukkan tiang. Disini tiang alam itu tidak ditanam tetapi didudukkan diatas lantai batu. Seperti halnya rumah, tiang pertama harus tiang pada sudut Tenggara yang disebut tiang “Nyaka”. Tiang yang akan didudukkan ini diletakkan diatas batu yang diatasnya telah diberi ijuk dan sebuah andang-andang. Setelah tiang Nyaka didudukkan, maka pekerjaan dilanjutkan dengan mendudukkan tiang-tiang yang lain dengan urutan berlawanan arah jarum jam. Jadi, urutannya ialah tiang Nyaka, Guru, Bendita, dan terakhir tiang sudut Barat Daya, ialah kira-kira. Setelah tiang selesai, maka pekerjaan membangun alang boleh terus dilanjutkan sampai selesai.

Setelah alang ini terisi, maka satu lapis paling bawah padinya tidak boleh diambil kecuali sangat terpaksa. Disini pengertian terpaksa agak longgar dibandingkan dengan di Bon Jeruk. Jadi kalau kebutuhan mendesak sedang ridak ada lagi padi untuk dimasak, pada lapisan terbawah akan dibongkar. Demikian juga peraturan mengambil padi di Sada sangat longgar. Yang menurunkan padi boleh laki-laki atau perempuan, asalkan setiap yang mengambil padi ini mengenakan ikat kepala adat. Tradisinya, padi hanya boleh diturunkan sehari sekali, tetapi kalau diperlukan boleh menurunkan lagi, asalkan pada pengambilan berikutnya tangga yang dipergunakan harus dibalik diatas jadi bawah.

Sebagai bagian dari persyaratan adat, ketika pertama kali alang diisi, ditengah lumbung ini diletakkan sebuah kendi berisi air, dan selamanya kendi ini tak boleh diganggu gugat. Alang ini hanya boleh diisi oleh jenis padi lokal yang dituai dengan gagangnya. Padi lain yang disimpan dalam karung disimpan di rumah atau tempat lain. Untuk keperluan adat mengisi alang, orang-orang kaya Desa Sada menanam baik padi unggul maupun padi lokal. Dengan adanya Peraturan Pemerintah untuk menanam padi jenis unggul, maka penanaman padi lokal dilakukan secara diam-diam, sementara itu banyak alang yang sudah tak berfungsi lagi.

Bangunan sekepat yang disebut diatas adalah berugaq, karena di Sada pada umumnya berugaq itu berkaki empat. Ada juga sekenem, tetapi jarang dan dianggap rendah derajatnya. Sekepat ini berfungsi sosial yaitu tempat duduk-duduk, tempat selamatan, dan tempat untuk tidur anak laki-laki. Sekepat ini bias mempunyai fungsi lain dan nama lain. Fungsi ini ialah untuk membaca lontar, dan untuk ini sekepat berganti nama menjadi “paosan”. Pada waktu menjadi paosan, bangunan sekepat ini keseluruhannya dinaikkan dengan mengganjal tiang-tiang penyangganya. Dengan demikian untuk duduk diperlukan tangga, yang jumlah anak tangganya sama dengan jumlah kerbau yang akan dipotong untuk sajian selamatan selama paosan dilaksanakan. Setelah selesai paosan, maka sekepat ini diturunkan kembali dan berfungsi sebagai berugaq. Selama paosan, semua fungsi berugaq tidak diperkenankan dilakukan diatasnya.
Untuk membangun paosan ini hanya orang kaya yang mampu karena untuk mengiringi pembangunannya harus diadakan selamatan dengan memotong kerbau. Sementara itu, tidak sembarang waktu paosan boleh dibangun, hanya pada waktu tertentu yaitu bila akan mengadakan pesta. Sedangkan upacara untuk membangun sekepat sama seperti ketika membangun rumah. Karena hanya orang kaya yang mampu membangun sekepat, maka keluarga yang kurang mampu dan tak memilikinya, dapat meminjam sekepat ini untuk mengadakan pembacaan lontar, karena memang hanya sekepat yang diperkenankan dijadikan paosan.

Dalam hal perkawinan, ada yang unik di desa ini. Cara pergaulan kunjungan midang yang dikenal di daerah-daerah yang disebut diatas, tidak dikenal disini. Cara meminang yang diajarkan Islam pun rupanya belum sepenuhnya diterima masyarakat. Untuk persiapan pernikahan maka kedua calon mempelai harus “merari” atau melarikan diri yang dimulai dengan hubungan antara keduanya yang dilaksanakan secara rahasia. Kalau fihak laki-laki yang melarikan anak orang ini sampai tertangkap dalam proses merari, ia bias dikenakan denda yang sangat tinggi atau dibunuh. Supaya merari ini berhasil, maka sang gadis harus dilarikan jauh-jauh selama satu hari satu malam. Mengingat beratnya resiko merari ini, maka biasanya pihak laki-laki melarikan diri dan bersembunyi seluruh keluarga. Hal ini adalah karena kalau pihak wanita sampai tahu keluarga yang melarikan anak gadisnya, dan kedua keluarga ini berjumpa bisa terjadi keributan. Sesudah merari ini sempurna, maka baru diadakan pendekatan-pendekatan keluarga untuk membicarakan penyelesaiannya.

Diatas telah disebutkan adanya kandang kerbau. Kerbau ini, disamping untuk kebutuhan hidangan selamatan, juga diperlukan untuk menggarap sawah. Tetapi keadaan tanah yang gersang sudah menjadikan Desa Sada menjadi daerah minus. Dan ini barangkali menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan longgarnya peraturan adat yang berkaitan dengan alang. Akibatnya, hanya orang tertentu saja yang bisa memelihara Kerbau. Dan ketika desa ini masih subur, kerbau itu dilepas saja di sawah atau diikat di pinggir desa, tetapi karena meningkatnya pencurian, kerbau ini menjadi harta yang perlu perlindungan. Sehingga hal ini menimbulkan kebutuhan pembuatan kandang kerbau di wilayah desa. Tidak ada upacara adat yang dituntut dalam pembuatan kandang kerbau. Demikian juga untuk masjid. Untuk masjid hanya diperlukan selamatan saja. Kalau ada upacarra yang dilakukan untuk membangun kandang kerbau, maka itu adalah tradisi baru yang dilaksanakan agar kandang itu kuat terhadap pencurian.

Pandangan Penduduk Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisinal
Ternyata arsitektur Sasak yang di beberapa desa terdahulu sudah mulai ditinggalkan orang karena dianggap kuno, memiliki unsur keindahan serta kewibawaan yang sangat kuat. Terutama apabila perencanaannya, pemilihan lokasinya, dan penampilan lingkungannya disesuaikan dengan kondisi alamnya, seperti Desa Sada ini, arsitektur tradisional itu seharusnya bisa tetap bertahan dan berkembang.

Masalahnya barangkali pada penyesuaian dengan tuntutan konsep-konsep baru di bidang kesehatan, teknologi, bahan dan kebutuhan-kebutuhan baru. Separuh dari responden di desa Sada ternyata masih tinggal di rumah tradisional dalam bentuk aslinya, sedangkan sisanya sudah melaksanakan perubahan-perubahan dalam penampilan fisik tradisionalnya terutama dengan menambah ruang dan mengganti bahan. Tidak satupun dari responden yang tinggal di rumah-rumah non tradisional. Tetapi ternyata hampir semua menyatakan keinginan untuk membangun dan tinggal di rumah non tradisional. Alasan utama yang dikemukakan sebagian terbesar responden ialah bahwa rumah tradisional sulit untuk dikembangkan, misalnya untuk ditambah luasnya atau disekat ruang dalamnya untuk menampung kebutuhan baru. Hanya sebagian kecil yang mengemukakan alasan-alasan tak berbobot seperti “kelihatan modern”, atau “supaya seperti tinggal di kota”. Ini sebetulnya menggembirakan karena alasan yang jelas dan mempunyai dasar kuat lebih mudah mengolahnya sebagai masukan gagasan pengembangan arsitektur Sasak.

Yang perlu mendapat tanggapan disini ialah pandangan hampir separuh responden yang menyatakan bahwa rumah tradisional tak perlu dipertahankan sama sekali, dan hanya sebagian kecil yang menyatakan perlunya pelestarian. Tetapi kalau dikaitkan dengan adat membangunnya, hanya sebagian kecil yang berpendapat bahwa tradisi-tradisi membangun rumah perlu ditinggalkan. Ini berarti bahwa kecenderungan warga desa untuk memilih rumah non tradisional kurang bertalian dengan pandangan tradisi adat, tetapi lebih kepada aspek-aspek perlunya sebuah rumah mampu menampung kebutuhan-kebutuhan baru penghuni. Dan ini tercermin dari pandangan sebagian terbesar responden yang menganggap rumah lebih dari sekedar tempat bernaung. Responden-responden ini mengatakan bahwa rumah itu juga harus bisa menampung fungsi sosial, seperti ruang duduk tamu dan kamar untuk tamu menginap, dan fungsi-fungsi lain yang secara tradisional belum disatukan dalam rumah seperti ruang mandi dan kakus, dapur, dan bermacam-macam ruang simpan yang persyaratannya berbeda misalnya gudang untuk keperluan dapur dan untuk menyimpan barang berharga.

Dalam konteks MCK, memang ada masalah sulit disini. Desa Sada ini berada di daerah kering dengan bukit-bukit gundul sisa pembakaran. Pemerintah telah menyediakan beberapa fasilitas pompa air yang cukup hanya untuk keperluan mencuci dan air minum. Tetapi beberapa fasilitas ini ditempatkan pada lokasi yang dianggap penduduk tidak tepat. Oleh penduduk fasilitas ini juga dimanfaatkan untuk mandi. Lokasinya yang terlalu terbuka, meskipun telah diberi dinding bata, dianggap penduduk tidak sesuai dengan norma kesopanan. Kamar mandi yang tutup dan bersatu dengan rumah “seperti di kota” dianggap sebagai kebutuhan baru. Tetapi masalah kesulitan air dalam keadaan sekarang ini memerlukan pemecahan ekologi yang konsep-konsep dasarnya perlu dikomunikasikan kepada masyarakat Sada, agar disadari bahwa masalah ini erat kaitannya dengan sistim pertanian mereka yaitu ladang berpindah dengan menggunduli hutan.

Sebagian terbesar responden masih memiliki lumbung-lumbung tradisionalnya. Berbeda dengan tanggapan mengenai rumah, sebagian terbesar responden masih berkeinginan untuk membangun lumbung-lumbung tradisional, meskipun persyaratan penggunaannya sudah tidak sesuai dengan kondisi dewasa ini. Masyarakat Sada melihatnya dari persyaratan adat yang harus dijaga karena lumbung ini dianggap sebagai perlambang kehidupan yang pokok, lumbung yang senantiasa penuh itu menunjukkan kestabilan hidup pemiliknya. Dalam masalah ini, tradisi menyimpang dari ketentuan produksi pangan asalkan persyaratan adat terpenuhi. Pandangan semacam ini mempunyai dasar yang kuat pada sebagian terbesar responden yang menganggap lumbung tidak hanya sekedar tempat menyimpan padi tetapi mengandung aspek spiritual budaya yang lebih jauh. Karena itu meskipun desa ini berada di daerah tandus, sebisa mungkin tuntutan tradisi mengenai lumbung dipenuhi.

Sikap responden juga tercermin pada tanggapannya mengenai pelestarian lumbung-lumbung tradisional dan persyaratan adat membangunnya. Hampir semua responden berpendapat bahwa kedua hal ini dilestarikan dalam bentuknya yang asli. Sementara itu responden-responden ini juga berpendapat bahwa bangunan lumbung itu adalah unsur terpenting dari arsitektur tradisional Sasak, sedangkan berugaq sekepat dan rumah hanya menempati prioritas kedua dan ketiga.

Mengenai berugaq, sebagian dari responden memiliki yang sekepat, sementara itu beberapa responden memiliki yang sekenem atau tidak mempunyai sama sekali. Persyaratan biaya yang berat mengakibatkan hanya sebagian saja penduduk yang memiliki berugaq sekepat, sedang sekenem yang lebih murah biaya membangunnya kurang disukai masyarakat karena derajatnya yang lebih rendah. Hal ini sangat berkaitan dengan status sosial dan kemampuan ekonomi individu. Posisinya dalam upacara tradisional dan struktur sosial Desa Sada, menyebabkan hampir setiap responden berkeinginan untuk membangun sekepat seandainya ada biaya. Sebagai tempat duduk-duduk, berugaq lebih disukai daripada ruang tamu yang ada di rumah-rumah non tradisional, karena berugaq tidak berdinding sehingga sirkulasi udara bisa maksimum, dan ini sesuai dengan iklim desa yang panas.

Karena iklim Sada, sebagian besar responden mengusahakan adanya ventilasi yang cukup dalam rumahnya, terutama dengan menambahkan lubang angin serta jendela pada beberapa rumah tradisional. Disadari atau tidak penambahan ventilasi ini telah menunjang program peningkatan kesehatan penduduk. Sebagian penduduk memiliki dapur dalam rumahnya yang sesuai dengan pola pembagian rumah tradisional, tetapi masalah ventilasinya kurang diperhatikan. Masalah kebakaran karena adanya dapur dalam rumah sudah sering didengar oleh para responden, tetapi menurut mereka akan jarang atau barangkali belum pernah ada insiden kebakaran di Sada akibat api dari dapur.
Dalam kasus Desa Sada ini, pandangan responden yang sering sangat berbobot mengenai arsitektur mereka hampir tak ada kaitan dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki. Sebagian terbesar responden hanya sampai pada tingkat sekolah dasar, sebagian malah tidak pernah sekolah, tetapi memang ada beberapa tokoh masyarakat yang memiliki ijazah perguruan tinggi. Sementara itu responden yang berpendidikan tinggi menduduki jabatan administratif desa yang menentukan. Sehingga pendidikan responden rupanya memang tidak menerangkan kemampuannya berpendapat, tetapi interaksi warga masyarakat yang berperan penting. Faktor pendidikan yang menunjang adalah tingkat sekolah anggota keluarga reponden. Sebagian dari responden ternyata ada yang duduk di sekolah lanjutan bahkan perguruan tinggi.

DESA SEMBALUN KECAMATAN AIKMEL, KABUPATEN LOMBOK TIMUR.
Untuk mencapai desa tersebut diperlukan menempuh jalan melingkar melalui Sajang. Tetapi jalan melingkar inipun belum memadai/ rusak berat.
Sembalun ini ternyata terdiri dari dua desa. Desa pertama yang dituju ialah Sembalun Lawang dan desa kembarannya, yaitu Sembalun Bumbung.

Legenda Asal-usul
Legenda asal-usul Desa Sembalun rupanya terdokumentasikan secara lebih lengkap dalam rakyat. Legenda yang dituturkan di bawah ini bersumber dari beberapa orang.
Sembalun ini dulu adalah sebuah kerajaan yang petilasannya ditemukan dalam bentuk makam-makam dan hasil-hasil penggalian sejarah. Asal-usul penduduk Kerajaan Sumbawa ini dulu datangnya dari Utara ( ? ) melalui Labuan Carik Desa Anyar. Sebagian dari mereka menetap di Bayan dan mendirikan kerajaan Bayan, sedang sebagian lagi menuju Sembalun. (Kalau menurut orang Bayan). Inilah yang menyebabkan eratnya hubungan penduduk Sembalun dengan Bayan.
Sekitar 700 tahun yang lalu Gunung Rinjani meletus, dan sebagian penduduknya lari menyelamatkan diri dengan dipimpin oleh sang Raja. Mereka lari berpencar ke enambelas desa, sedangkan sebagian penduduk yang tidak mau menyingkir dari bencana Rinjani semuanya punah. Ketika dirasa keadaan telah aman setelah meletusnya Rinjani, tujuh kepala keluarga memimpin warganya yang terdiri dari sekitar empat puluh orang dengan diketuai oleh Raja kembali ke Sembalun. Sampai di suatu tempat dekat Sembalun ketujuh keluarga membuat bangunan yang disebut “bale belik” yang artinya rumah besar untuk menampung ketujuh keluarga ini. Tempat ini kemudian berkembang menjadi daerah pemukiman yang dinamakan Desa Belik. Untuk mengenang ketujuh keluarga ini, di desa Belik dibangun tujuh rumah (tetapi tidak jelas bila membangunnya, tradisional/non tradisional, sudah hancur atau masih tegak).
Dari Desa Belik sebagian penduduk ada yang berpindah ke Lumpang dan mendirikan “bak malang” yaitu sebuah bangunan yang arah orientasinya berlainan dengan tradisi orang Sembalun. Dari Lumpang, desa bergeser lagi sampai ke lokasi Desa Sembalun Lawang sekarang. Sesudah itu turunan ketiga dari yang kembali ke Sembalun ada yang berpindah ke desa yang sekarang bernama Sembalun Bumbung.
Dalam menyampaikan legenda diatas, tidak ada yang menyebutkan hubungan asal-usul penduduk dengan Majapahit, tetapi diakhir uraian ada yang menyebutkan bahwa orang Sembalun itu merasa masih keturunan Kerajaan Jawa. Mengenai hal ini sebagai keterangan tambahan disebut bahwa Patih Gajah Mada beberapa kali mengunjungi Desa Sembalun. Maka kemungkinan sebagian rombongan Majapahit ini ada yang tinggal dan menetap disini, malahan ada legenda yang menyatakan bahwa Gajah Mada menghilang ( meninggal ? ) disuatu daerah dekat Sembalun dan masih ada petilasannya. Bahkan tongkat serta paying kebesaran Majapahit juga ada yang ditinggalkan dan masih ada sampai dewasa ini di Sembalun. Pada upacara-uapacara adat tertentu tongkat serta paying tersebut disertakan sebagai bagian dari kegiatan ritual. Sebagai keterangan tambahan lagi nama Sembalun itu asal katanya adalah sembah dan Ulun. Sembah artinya berbakti sedang Ulun adalah Tuhan, dan dengan demikian melambangkan bahwa orang Sembalun itu adalah masyarakat yang taat beribadah.

Aspek Budaya Serta Kaitannya Dengan Bangunan Tradisional
Meskipun dulu di Sembalun ini dikenal banyak jenis bangunan tradisional, sekarang yang utama hanya ada dua jenis yaitu lumbung dan rumah. Jenis lumbung yang adapun adalah yang derajatnya paling rendah yaitu “lumbung”, meskipun dulu pernah ada jenis-jenis sambi, agung dan alang. Kalau di desa-desa lain yang disurvei, biasanya derajat lumbung diletakkan diatas kedudukan rumah. Di Sembalun, baik lumbug maupun rumah derajatnya sama. Ada dua faktor yang mungkin menyebabkan keduanya mempunyai kedudukan sama. Penyebab pertama ialah karena lumbung yang sekarang masih ada adalah jenis yang derajatnya paling rendah. Faktor kedua ialah kenyataan bahwa lahan desa sudah padat oleh bangunan, sehingga kebutuhan akan lahan perumahan sudah menempati prioritas yang tinggi.

Atap di Sembalun lebih luas dari lokasi survei lainnya, yang mungkin diperlukan untuk isolasi terhadap udara dingin Sembalun. Perbedaan lain terletak pada arahnya. Wuwungan rumah di Sembalun, yang dalam bahasa mereka dikenal dengan istilah “buwung atau bung”, justru diberi arah Timur-Barat. Seperti ditempat-tempat lain, pintu rumah hanya satu, tetapi harus pada sisi utara. Ruangan dalam rumah pada pokoknya dibagi dua. Ruang disisi pendek yang luasnya seperti lantai dipergunakan untuk ruang simpan terutama beras. Sisanya yang dua pertiga untuk tidur dan dapur. Disini disediakan inanbak atau pepara yang gunanya untuk menyimpan periuk dan alat dapur. Karena perkembangan peningkatan usaha pertanian dan perkebunan yang hasilnya sudah mencapai nilai ekonomis, maka di dalam rumah tradisional yang ada sekarang disediakan juga ruang khusus untuk menyimpan hasil-hasil pertanian di samping beras. Dan ini merupakan tempat simpan utama, bukan hanya sekedar untuk keperluan sehari-hari. Lain halnya dengan padi yang ruang simpan utamanya masih lumbung, sedang yang di dalam rumah hanya untuk harian. Untuk penyekat ruang dalam rumah sering dipergunakan pagar bambu yang bagian atasnya diberi papan kayu untuk menyimpan barang. Serambi rumahnya juga dibagi menjadi serambi panjang dan pendek, hanya tak ada aturan ketat mengenai pemakaiannya, kecuali waktu ada selamatan maka serambi panjang biasanya untuk duduk tamu.

Dulu waktu masih ada alang di Sembalun, untuk membangunnya juga diperlukan tukang khusus, tetapi sekarang untuk membangun lumbung sembarang tukang bisa. Buwung dari lumbung diarahkan Timur-Barat seperti rumah dengan pintu menghadap Barat, meskipun juga kadang-kadang menghadap Timur. Menurut adat, bagian bawah lumbung tidak diperkenankan untuk dipakai ruang simpan. Tetapi sekarang ruangan di bawah lumbung sering dimanfaatkan untuk menyimpan kayu, alat pertanian, bahkan dipergunakan untuk dapur atau kandang kuda. Perubahan fungsi ini barangkali juga karena meluasnya usaha ekonomi pertanian sehingga ruang simpan dalam rumah sudah tidak memadai lagi. Untuk menampung fungsi-fungsi baru tersebut, maka kini ruangan di bawah lumbung sering diperluas dan diperkeras dengan batu.

Tata cara untuk membangun lumbung dan rumah pada umumnya sama. Sebelum pekerjaan membangun kedua bangunan ini dimulai, maka semua kayu yang dibutuhkan harus terkumpul dulu, dan untuk ini sering diperlukan waktu sampai satu minggu. Setelah kayu terkumpul baru dicari hari baik untuk melakukan satu-satunya upacara yang diperlukan yaitu upacara memotong kayu pertama kali. Perhitungan mencari hari diambil dari Bulan Arab. Dari keduabelas bulan, ada lima bulan yang tidak dipergunakan untuk membangun, yaitu : Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil akhir dan Syawal.

Pada dasarnya sembarang jenis kayu, dan bahkan bambu dapat dipergunakan (meskipun menurut adat harus kayu). Tetapi ada jenis kayu lokal yang dianggap berderajat tinggi yaitu kayu Suren. Kalau dalam pembangunan dipergunakan kayu Suren dan Nangka, maka kayu Suren harus dipakai untuk konstruksi bagian atas rumah karena kayu Nangka dan kayu lain dianggap berderajat lebih rendah dari Suren, maka apabila dipakai Suren, Nangka tidak dupergunakan, karena tidak sesuai dengan logika struktur. Seperti di Sada, penanaman atau pendudukan tiang dimulai dari sudut pandang Tenggara, dan berputar berlawanan dengan arah jarum jam. Uang logam kuno juga dipergunakan disini, dan untuk setiap tiang ditanam empat, empatpuluh, atau empatpuluh empat buah.
Untuk peresmian lumbung yang pertama kali akan diisi padi, diadakan selamatan dengan memotong ayam. Selamatan ini dipimpin oleh Kiai. Sesudah lumbung diisi, hanya wanita yang boleh menurunkan padinya, kecuali kalau berhalangan. Kecuali ada kematian, maka dalam satu hari hanya boleh satu kali saja menurunkan padi dari lumbung. Demikian juga lapisan padi paling bawah tak boleh diambil kecuali ada kematian. Tidak ada masalah mengenai jenis padi yang boleh disimpan dalam lumbung, karena di Sembalun belum dikenal padi unggul.

Dulu di Sembalun juga ada berugaq, sekarang sudah ditemui lagi karena dianggap sudah tidak ada fungsinya. Waktu berugaq masih ada yang dikenal ialah yang berbentuk sekepat. Ada beberapa hal yang bisa dipergunakan untuk menerangkan hilangnya berugaq. Desa Sembalun ini letaknya di daerah ketinggian yang udaranya dingin sekali, terutama waktu malam hari. Sehingga duduk-duduk di berugaq rasanya mungkin kurang nyaman. Sementara itu sebagian terbesar rumah di Sembalun adalah non tradisional dan memiliki ruang duduk di dalamnya yang pada waktu malam jelas lebih hangat udaranya dari berugaq. Alasan lain ialah karena orang Sembalun mengenal konsep pemilikan lahan yang dikaitkan dengan kewajiban pemeliharaan. Dewasa ini arti pemilikan lahan ini bahkan diperluas sampai konsep pemilikan lahan modern. Untuk itu penduduk Sembalun dapat mengusahakan untuk mendapat sertifikat hak milik lahan dari Kantor Agraria. Karena lahan desa semakin sempit, dan lahan itu dianggap sebagai bagian dari kekayaan, maka fungsi-fungsi sosial menjadi menurun, dan orang mengutamakan kebutuhan yang lebih vital seperti rumah dan lahan ekonomi.

Untuk membangun rumah, meskipun kehidupan desa sudah komersial, masih dikenal cara gotong royong yang segala sesuatunya dipimpin oleh “pendagi” atau ahli bangunan, atau oleh “pemula” atau pemimpin adat. Jumlah undak-undak rumah harus selalu ganjil, sedangkan makin besar jumlahnya makin kuat kelas ekonominya.
Kandang di Sembalun hanya dikenal untuk kuda dan ditempatkan di bawah lumbung. Binatang lain seperti sapi, kambing, kerbau, ayam dilepas saja. Tetapi sekarang ini, ayampun sering dibuatkan kandang.

Satu-satunya bangunan di Sembalun yang buwungnya diarahkan Utara-Selatan ialah Bale Malang, yang terletak di Lumpang. Fungsi dari bangunan ini ialah untuk menyelesaikan persoalan masyarakat melalui “keramat desa” atau semacam pengadilan adat yang dipimpin oleh tiga tokoh desa, yaitu “pemekel” yang mewakili pemerintah desa, Kiai sebagai unsur agama, dan “pemangku” atau tokoh adat. Ketiga tokoh ini harus hadir dalam keramat desa agar keputusannya sah. Keputusan yang sah yang dicapai oleh keramat desa di Bale Malang harus ditaati semua warga Sembalun.

Dalam sejarah perkembangan Sembalun terjadi suatu proses perombakan struktur sosial yang oleh penduduk dikenal dengan istilah “melebur bahasa”. Hasilnya, sekarang di Sembalun tidak dikenal lagi kasta, dan bahasa Sasak yang dipergunakan di Sembalun ialah bahasa kaum jelata. Semua orang dianggap berderajat sama. Meskipun orang Sembalun bertemu dengan kasta Raden mereka tetap merasa sederajat dan tetap menggunakan bahasa jelata. Hal ini barangkali disebabkan oleh asal-usul orang Sembalun yang bersumber dari bala tentara kerajaan Bayan yang anggotanya lebih banyak dari kasta bawah.

Mengenai perkawinan, ada dua cara proses perkawinan yang dikenal, yaitu melalui merari, dan “Selabar”. Dalam merari, setelah anak gadis dilarikan, kalau sampai pihak yang melarikan tertangkap oleh keluarga gadis maka peristiwanya akan diselesaikan melalui musyawarah dan bukannya dihukum atau terjadi perkelahian. Dalam Selabar, sesudah anak gadis dilarikan, pamong desa kemudian diberitahu dan diselesaikan melalui musyawarah. Dalam musyawarah kemudian dilakukan perhitungan jodohnya dengan hari baik. Kalau menurut perhitungan dari perkawinan atau dengan syarat-syarat lain.

Orang Sembalun ternyata yang paling terbuka dalam hal penjelasan Islam Wetu Telu. Menurut mereka ada beberapa definisi yang digunakan untuk penjelasan kepercayaan ini. Pertama dalam Agama ini Dhukun hari Jum’at, dan Isa waktu Ramadan. Penjelasan kedua menyatakan bahwa sudah sah Islam seseorang bila telah memenuhi tiga rukun Islam. Pertama, yaitu :Shahadat, Shalat dan Puasa. Yang ketiga mengatakan bahwa Wetu Telu datang dari “Wet” bahasa Belanda yang artinya undang-undang, dan Wetu Telu ini melambangkan unsur-unsur keramat desa di Bale Malang.

Pandangan Penduduk Lokasi Survei Mengenai Beberapa Aspek Arsitektur Tradisional dan Non Tradisional
Sangat disayangkan bahwa desa Sembalun yang masih mewarisi nilai-nilai tradisi yang tinggi, bangunan tradisionalnya sudah hampir punah. Rumah non tradisional sudah membudaya di Sembalun. Keluarga yang memiliki unsur-unsur bangunan tradisional lengkap sudah tidak ada.

Dari keseluruhan responden hanya seorang yang masih tinggal di rumah tradisional. Semua responden menyatakan, seandainya ada biaya untuk membangun maka mereka akan mendirikan rumah non tradisional yang dianggap lebih bersih dan sehat. Bertentangan dengan pendapat tersebut, mereka mengatakan bahwa ditinjau dari segi iklim, tinggal di rumah tradisional lebih menyenangkan, karena di siang hari tidak terlalu panas, sementara pada waktu malam cukup hangat untuk udara Sembalun yang sangat dingin. Meskipun kebanyakan rumah adalah bangunan non tradisional, berlainan dengan di desa-desa lain, disini masih ada penduduk yang mengarahkan rumah non tradisionalnya seperti bangunan tradisional yaitu buwungnya dihadapkan Timur-Barat. Alasan pengarahan rumah non tradisional yang disesuaikan dengan adat ini adalah karena, meskipun rumah itu dianggap hanya sekedar tempat bernaung, rumah itu adalah rumah. Tradisional atau non tradisional dianggap tidak relevan dengan aturan adat.

Dalam konteks ini, pandangan mereka tidak konsisten dengan pendapat terhadap persyaratan adat membangun rumah yang menurut sebagian terbesar menyatakan tidak perlu dipertahankan secara penuh. Rupanya ini ada kaitannya dengan pandangan agama Islam yang oleh beberapa responden sangat ditekankan terutama dalam hubungannya dengan upacara adat. Sebagian responden berpendapat bahwa tata cara yang tidak sesuai lagi dengan kaidah Islam sebaiknya ditinggalkan.

Keadaan yang sama ditemui dalam masalah lumbung. Tidak seorangpun responden yang masih memiliki lumbung tradisional. Menurut sebagian responden alasannya ada bermacam-macam. Lumbung tradisional, terutama yang jenis alang itu persyaratan adat membangunnya sangat berat sedang kegunaannya sehari-hari sudah terbatas sekali. Sementara itu, sebagai akibat usaha perkembangan pertanian. Desa Sembalun banyak sekali menghasilkan hasil bumi yang bernilai ekonomi tetapi tak bisa disimpan dalam lumbung tradisional. Untuk menyimpan hasil bumi ini lebih diutamakan daripada membangun lumbung tradisional.

Hal ini juga tercermin pada kecenderungan sebagian terbesar responden yang apabila ada biaya, lebih mengutamakan gudang hasil bumi. Ada juga yang masih berkeinginan untuk mendirikan lumbung alang, tetapi hanya sekedar untuk memelihara adat dan bukan karena kebutuhan. Karena itu hampir semua responden beranggapan tidak ada perlunya tetap mempertahankan adat-adat pembangunan lumbung. Sebagian terbesar responden kedudukan rumah dan lumbung sama tingginya, dan tidak dianggap bangunan terpenting di desa ini.

Mengenai berugaq, yang memang sudah tidak didapati lagi di Sembalun sebagian terbesar responden tidak menyatakan pendapatnya mengenai keinginan untuk membangun di masa depan, dan juga untuk melestarikan kehadirannya. Udara sembalun yang dingin menyebabkan mereka berpendapat bahwa fungsi-fungsi interaksi sosial dapat ditampung dalam rumah yang semuanya memiliki ruang duduk-duduk. Untuk memelihara adat, satu-satunya bangunan yang mereka anggap penting ialah bale Malang.
Masalah ventilasi dan penerangan alam mendapat cukup perhatian dari penduduk yang menyatakan bahwa semua rumah sekarang ini sudah ada jendela dan ventilasinya. Masalah air sebetulnya cukup sulit untuk Sembalun, banyak keluarga yang menggantungkan kebutuhan airnya dari sumur yang secara adat tidak dikenal. Sekarang banyak sumur yang malah telah dilengkapi dengan fasilitas MCK. Masalahnya adalah kedalaman sumur yang sangat bervariasi dan umumnya dianggap terlalu dalam. Meskipun sudah banyak fasilitas MCK, sebagian penduduk masih lebih senang mandi di kali. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ruangan mandi di MCK terlalu sempit, dipakai oleh orang banyak, dan pengambilan air dari sumur masih dirasa kurang sesuai untuk keperluan mandi.

Disini banyak fasilitas pendidikan sampai tingkat SMP. Fasilitas pendidikan ini erat hubungannya dalam usaha peningkatan ekonomi masyarakat desa, tetapi rupanya kurang memberi penyuluhan akan pentingnya pelestarian arsitektur tradisional. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa arsitektur non tradisional yang berlambang di Sembalun sangat beraneka ragam dan menyimpang jauh dari pola tradisionalnya, sehingga karakter fisik desa hampir tak ada.

1 komentar: